Hal itu ditegaskan Pjs. Humas PN Gunungsitoli, Hengky Alexander Yao didampingi panitera saat dikonfirmasi sebelum digelar agenda sidang pemeriksaan saksi saksi perkara ke 4 pelajar dan masih dibawah umur itu di PN Gunungsitoli, Senin (2/6/2025).
"Kita tetap mengacu pada SPPA dan hari ini secara teknis masih pemeriksaan saksi saksi", tegas Hengky.
Terkait pasal 170 yang disertakan sebagai penambahan pasal undang undang pidana umum, Hengky menjelaskan, SPPA mengatur tentang hukum acaranya yaitu tentang tata cara persidangan anak, bukan pidananya sebagaimana dimaksud pasal 170 itu,
"Boleh-boleh saja JPU nya menyertakan pasal pidana umum, namun dalam perkara anak ini tetap kita mengacu pada SPPA," tegasnya.
Pada sidang pertama di PN Gunungsitoli ke 4 pelajar tersebut dilakukan penahanan namun pada sidang berikutnya kembali ditangguhkan penahanannya, Hengky mengatakan, kewenangan penahanan ada pada hakim yang memeriksa perkara.
"Kalau kemudian dilakukan penangguhan penahanan pada anak, saya sudah bawakan dokumen anak, saya tidak bisa memberikan, saya bacakan saja. Jadi berdasarkan pasal 32 ayat 1 anak itu tidak bisa ditahan ketika memperoleh jaminan dari orang tua sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 itu tidak boleh ditahan," ungkapnya.
Jadi setelah diversi orang tua ke-4 anak ini memberikan jaminan ke hakim sehingga berdasarkan pasal 32 ayat 1 itu lah dikeluarkan surat penangguhan penahanan.
Salah satunya pertimbangan penangguhan penahanan karena ke empat anak juga masih sekolah dan akan menghadapi ujian sekolah.
"Penjara itu bagi anak dimungkinkan sebagai alternatif terakhir, beberapa ketentuannya berupa peringatan, kembali kepada orang tua , pengawasan, ada juga ketentuan penjaranya. Namun ini kita tidak bisa mencampuri karena sedang proses perkaranya, biarkan hakim sedang bekerja dengan mempertimbangkan semua pertimbangan sehingga nanti terungkap dalam bentuk putusan," jelasnya.
Sementara itu, Dr. Beniharmoni Harefa S.H., LL.M yang merupakan Praktisi dan Akademisi Perlindungan Anak menegaskan bahwa Penanganan perkara anak harus berdasarkan pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.
“Pada prinsipnya pengenaan pasal merupakan hak penegak hukum berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan. Perolehan alat bukti sehingga menimbulkan keyakinan bahwa tindak pidana apa yang dilakukan seterusnya penentuan pasal apa yang akan diterapkan,” ucap Dr. Beniharmoni.
Lanjutnya, penahanan terhadap anak prinsipnya merupakan suatu hal yang harus dihindari. Berdasarkan pasal 21 KUHAP syarat subjektif penahanan adalah dikhawatirnya melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi perbuatan pidana. Apabila tidak ditemukan kekhawatiran ini maka dapat saja terdakwa tidak ditahan, terlebih bila pelakunya anak. Anak harus dihindarkan dari proses peradilan formal, termasuk upaya paksa penahanan. karena hal itu berdampak buruk, namun bukan berarti tidak meminta pertanggungjawaban dari apa yang sudah dilakukan.
“Harapan
untuk hakim yang mengadili perkara tentunya harus bertindak bijak dan
seadil-adilnya. Kekerasan yang dilakukan oleh anak tidak dapat dibenarkan,
namun penyelesaiannya tidak juga dengan mengorbankan masa depan anak pelakunya.
Semua hendaknya diselesaikan dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak (for
the best interest of the child),” tandasnya. (Red)
Komentar0